Teori Donabedian
Penilaian kualitas
pelayanan kesehatan dilakukan melalui 3 pendekatan yaitu melalui pendekatan
struktur atau input ( struktur ), proses dan hasil ( output ), (Donabedian,
1968). Untuk menjamin kualitas pelayanan maka diperlukan adanya kebijakan.
Kebijakan tersebut diantaranya peningkatan kemampuan dan mutu pelayanan
kesehatan, penetapan dan penerapan standar, peningkatan mutu sumber daya
manusia, penyelenggaraan quality assurance, percepatan pelaksanaan akreditasi,
peningkatan kerjasama serta koordinasi dan peningkatan peran serta masyarakat.
Struktur meliputi
sarana fisik perlengkapan dan peralatan, organisasi dan manajemen, keuangan,
sumber daya manusia dan sumber daya lainnya di fasilitas kesehatan. Hal ini
berarti yang dimaksud dengan struktur adalah masukan (input). Jika struktur
atau input disuatu organisasi pelayanan kesehatan baik kemungkinan besar
kualitas pelayanan akan baik pula. Struktur digunakan sebagai pengukuran tidak
langsung dari kualitas pelayanan. Hubungan antara struktur dan kualitas pelayanan
adalah hal yang penting dalam merencanakan, mendesain, dan melaksanakan sistem
yang dikehendaki untuk memberikan pelayanan kesehatan. Pengaturan karakteristik
struktur yang digunakan mempunyai kecenderungan untuk mempengaruhi proses
pelayanan sehingga akan membuat kualitasnya berkurang atau meningkat.
Proses adalah kegiatan
yang dilaksanakan oleh tenaga kesehatan dan interaksinya dengan pasien.
Penilaian terhadap proses adalah evaluasi terhadap dokter dan profesi kesehatan
dalam me- “manage” pasien. Kriteria umum yang digunakan adalah derajat
pengelolaan pasien, konform dengan standar dan harapan setiap profesi.
Asumsinya adalah bahwa semakin patuh semua tenaga kesehatan profesional kepada
standar yang diakui oleh masing-masing profesi, akan semakin tinggi pula mutu
pelayanan terhadap pasien. Baik tidaknya proses dapat diukur dari relevan
tidaknya proses bagi pasien, fleksibilitas dan efektifitas, mutu proses itu
sendiri dan kewajaran proses.
Hasil (Luaran ) yaitu
hasil langsung dari proses, aktifitas, kegiatan atau pelayanan dari sebuah
program. Hasil merupakan hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan
profesional terhadap pasien, dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan
dan kepuasan. Hasil secara tidak langsung dapat digunakan sebagai pendekatan
untuk menilai pelayanan kesehatan.
Teori
Parasuraman
Dalam Teori
Parasuraman, Zeithaml dan Berry (Buchari Alma : 2002) telah menjelaskan
terdapat lima gap yang dapat menimbulkan kegagalan penjualan jasa, yaitu :
Kesenjangan harapan konsumen dan persepsi manajemen, Kesenjangan persepsi
manajemen dan kualitas jasa, Kesenjangan kualitas jasa dan penyampaian
jasa, Kesenjangan peyampaian jasa dan
komunikasi eksternal, Kesenjangan jasa yang dialami/dipersepsi dan jasa yang
diharapkan.
Menurut Parasuraman,
Zeithalm dan Berry dalam Tjiptono (2007:262-270) menyatakan ada lima
kesenjangan (Gap) dalam proses pelayanan, yaitu :
a)
Gap
antara harapan konsumen dan pendapat manajemen Gap ini muncul sebagai akibat
dari ketidaktahuan manajemen tentang kualitas jasa macam apa yang sebenarnya
diharapkan konsumen pengguna jasa dan bagaimana penilaian konsumen terhadap
pelayanan yang diberikan. Akibatnya desain dan standar jasa yang disampaikan
menjadi tidak baik. Sehingga perusahaan tidak dapat memperlihatkan kinerja
pelayanan yang dijjanjikan. Kesenjangan ini pada umumnya 33 disebabkan
kurangnya orientasi penelitian pemasaran, pemanfaatan yang tidak memadai atas
temuan-temuan penelitian, kurangnya interaksi antara pihak manajemen dan
pelanggan, komunikasi atas-bawah yang kurang memadai, serta terlalu banyaknya
lapis manajemen. Contohnya, pimpinan rumah sakit mengira pasien menghendaki
makanan yang lezat, padahal sebetulnya pasien lebih menganggap penting perawat
yang tanggap dan cekatan.
b)
Gap
antara pendapat manajemen tentang harapan konsumen dan spesifikasi kualitas
jasa Gap ini muncul karena para manajer menetapkan spesifikasi kualitas jasa
yang tidak tidak jelas dan realistis. Akibatnya pegawai yang memberikan
pelayanan kepada konsumen secara langsung tidak tahu pelayanan seperti apa yang
harus diberikan. Kesenjangan ini dapat terjadi, antara lain, karena tidak
memadainya komitmen manajemen terhadap kualitas jasa, tidak memadainya
standardisasi, dan tidak adanya tujuan yang jelas. Contohnya, pimpinan rumah
sakit memberikan instruksi kepada perawat agar memberikan pelayanan dengan
cepat tetapi tidak menentukan standar waktu yang spesifik dan konkrit mengenai
cepatnya pelayanan yang diharapkan (1 jam atau 2 jam, dan seterusnya).
c)
Gap
antara spesifikasi kualitas jasa dan penyampaian jasa Gap ini biasanya muncul
pada jasa yang sistim penyampaiannya sangat tergantung pada karyawan. Pendapat
yang akurat tentang harapan konsumen memang penting, tetapi belum cukup untuk
menjamin bahwa spesifikasi kualitas jasa akan terpenuhi apabila jasa memerlukan
kinerja pelayanan dan penyajian yang sesegera mungkin bila para konsumen 34
pengguna jasa hadir ditempat jasa diproses. Kesenjangan ini terjadi,
diantaranya, karena karyawan kurang terlatih, beban kerja yang melampaui
batasan (overload), ambiguitas peran, atau konflik peran. Gap ini
mengindikasikan perlunya ditetapkan disain dan standar jasa yang berorientasi
kepada konsumen pengguna jasa.
d)
Gap
antara penyampaian jas aktual dan komunikasi eksternal kepada konsumen pengguna
jasa. Janji yang disampaikan mungkin secara potensial bukan hanya meningkatkan
harapan yang akan dijadikan sebagai standar kualitas jasa yang akan diterima
konsumen pengguna jasa, akan tetapi juga akan meningkatkan pendapat tentang
jasa yang akan disampaikan kepada debitur. Kegagalan dalam memenuhi jasa yang
dijanjikan dengan faktanya akan memperbesar gap ini. Contoh: di dalam brosur
dinyatakan tersedia kamar hotel yang mewah, bersih, dan rapi, tetapi
kenyataannya kamar tidak bersih dan rapi. Kesenjangan ini terjadi, antara lain,
karena tidak memadainya komunikasi antara penyedia dengan pembeli jasa serta
adanya kecenderungan untuk memberikan janji yang berlebihan.
e)
Gap
antara jasa yang diharapkan dan jasa aktual yang diterima Gap ini timbul akibat
adanya perbedaan antara kinerja pelayanan yang diterima pada konsumen pengguna
jasa dan kinerja pelayanan yang diharapkan atau kepentingan konsumen pengguna
jasa. Bila dihubungkan dengan tingkat kesesuaian konsumen pengguna jasa, ini
menccerminkan bahwa para konsumen pengguna jasa tersebut berada pada keadaan
sesuai. Kesenjangan ini terjadi apabila pelanggan mempunyai persepsi sendiri
dalam mengukur kinerja/prestasi 35 perusahaan. Sebagai contoh, dokter merasa
perlu sering-sering mengunjungi pasiennya karena perlu memperhatikan pasien
dengan baik, tetapi pasien wanita (muda dan cantik) mungkin mempunyai persepsi
bahwa dokter sedang
Untuk menangani
kelima gap yang terjadi ini, selanjutnya Parasuraman, Berry, dan Zeithaml
(Harbani Pasolong, 2007:135), menyatakan ada lima karakteristik yang digunakan
untuk mengevaluasi kualitas jasa, yaitu :

Kualitas
pelayanan berupa fasilitas fisik perkantoran, perlengkapan, kebersihan, dan
sarana komunikasi, ruang tunggu, tempat informasi.

Yakni kemampuan dan keandalan untuk
menyediakan pelayanan yang terpercaya (pelayanan yang dijanjikan dengan segera
dan memuaskan).

Yaitu keinginan para staff untuk membantu para
masyarakat dan memberikan pelayanan yang cepat dan tepat, serta tanggap
terhadap keinginan konsumen.

Mencakup kemampuan, keramahan, kesopanan, dan sifat
dapat dipercaya yang dimiliki para staff, bebas dari bahaya, resiko, atau
keraguan.

Sikap tegas tapi penuh perhatian terhadap konsumen,
sehingga memudahkan dalam melakukan hubungan komunikasi yang baik dan memahami
kebutuhan para pelanggan.
Semoga Bermanfaat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar